Jumat, 11 Juli 2014

Review Buku: Selimut Debu oleh Agustinus Wibowo

Judul: Selimut Debu
Pengarang: Agustinus Wibowo
Tanggal terbit: Januari 2010
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Goodreads

Dari Goodreads:
Selimut Debu akan membawa Anda berkeliling “negeri mimpi"—yang biasa dihadirkan lewat gambaran reruntuhan, korban ranjau, atau anak jalanan mengemis di jalan umum—sambil menapaki jejak kaki Agustinus yang telah lama hilang ditiup angin gurun, namun tetap membekas dalam memori. Anda akan sibuk naik-turun truk, mendaki gunung dan menuruni lembah, meminum teh dengan cara Persia, mencari sisa-sisa kejayaan negara yang habis dikikis oleh perang dan perebutan kekuasaan, sekaligus menyingkap cadar hitam yang menyelubungi kecantikan “Tanah Bangsa Afghan” dan onggokan debu yang menyelimuti bumi mereka. Bulir demi bulir debu akan membuka mata Anda pada prosesi kehidupan di tanah magis yang berabad-abad ditelantarkan, dijajah, dilupakan—sampai akhirnya ditemukan kembali.




3.5 bintang

Mungkin saya salah satu dari sedikit orang yang memberi 3 bintang untuk buku ini. Jujur, saya punya ekspektasi yang sangat tinggi akan trilogi karya Agustinus Wibowo ini. Deretan review yang memuji-muji serial ini di Goodreads, box set yang sangat menggiurkan, serta lembaran-lembaran foto asli penulis yang dicetak berwarna. God. I fall in love.

Selimut Debu merupakan lembaran-lembaran jurnal Agustinus Wibowo dari pengalamannya bertualang di negeri yang senantiasa dikelilingi debu, Afghanistan. Jika mendengar kata Afghanistan, pasti yang muncul di benak kita adalah padang pasir. Taliban. Perang saudara. Kemiskinan. Akan tetapi, melalui tulisan sang penulis, kita melihat sudut lain dari Afghanistan, negeri tanah air bangsa Afghan. Negeri di mana debu bagaikan air di Indonesia, di mana-mana.

Saya suka gaya bahasa Agustinus Wibowo yang lugas dan apa adanya. Pengamatannya yang jeli akan wealth gap yang lebar di negeri tersebut. Sangat menarik membaca pengalamannya hampir terjebak di tengah gunung pasir karena mobil mogok, pertemuannya dengan orang-orang di pengembaraannya, serta kisah getir ketika ia hampir ‘diserang’ lelaki Afghan karena perawakannya yang halus.

Salah satu hal paling mengejutkan yang saya temui di buku ini adalah komentar para wanita Afghan yang mengasihani wanita Malaysia yang harus membanting tulang di pabrik. Wanita Afghan yang selama ini dikasihini oleh pihak luar karena dianggap dikekang kebebasannya, ternyata telah menerima keadaan diri mereka dalam keterbatasannya. Mungkin, apa yang kita anggap sebagai ‘sangkar’ dianggap sebagai pelindung oleh sisi yang lain.

Lalu mengapa tiga bintang? Pertama, saya pusing dengan alur di buku ini. Saya bingung kejadian mana yang lebih dulu terjadi. Sang penulis telah tiba di negeri seberang pada akhir satu bagian, namun di bagian selanjutnya sang penulis masih berada di Afghanistan. Saya akan lebih mengapresiasi bila kisah-kisah di Selimut Debu dituturkan runut sesuai kronologis karena akan jauh lebih mudah bagi pembaca untuk mengikuti perjalanan sang penulis. Sekadar usul, mungkin peta perjalanan penulis bisa ditampilkan di halaman pertama buku dua halaman penuh agar lebih mudah bagi pembaca untuk mengikutinya perjalanannya.

Kedua, hal utama yang membuat saya menurunkan satu bintang untuk buku ini adalah ketidaksetujuan saya dengan beberapa ideologi yang ditampilkan. Satu ideologi sang penulis yang ditampilkan di buku ini sangat bertentangan dengan kepercayaan pribadi saya, sehingga hal itu mengakibatkan saya harus mengurangi satu bintang.

Terlepas dari kedua hal itu, Selimut Debu adalah kisah perjalanan indah yang saya yakin telah dan akan menginspirasi banyak orang. Dihiasi foto-foto yang memukau dan menggunakan gaya penulisan yang mudah dibaca, saya merekomendasikan Selimut Debu bagi mereka yang ingin melihat Afghanistan dari perspektif lain serta pencinta fiksi traveling




 
 3 butterflies!
Kisah perjalanan yang sesuai untuk mengobati wanderlust!


Jumat, 09 Mei 2014

Volunteer yuk! Pengetikan Ulang Buku untuk Tunanetra


Halo semuanya! Hari ini saya mau kasih kabar tentang kesempatan volunteer yang saya dapat dari blog PlotPoint Publishing nih. Dijamin ciamik, bermafaat, dan berpahala haha:


PENGETIKAN ULANG BUKU UNTUK TUNA NETRA (PBUT)


Kamu suka baca buku? Berharap untuk membagi kesenangan kamu dengan orang lain? Ayo volunteer jadi relawan pengetikan di acara Pengetikan Ulang Buku Untuk Tuna Netra. Melalui acara ini, kamu akan bisa menolong saudara-saudara kita yang enggak cukup beruntung agar dapat merasakan kebahagiaan membaca dan mendapat wawasan baru. :


Hari/tanggal : Sabtu, 31 Mei 2014
Pukul : 07.00 – 17.00 WIB
Tempat : Balairung Universitas Indonesia, Depok


Syarat menjadi relawan :
  • Relawan mendaftar perorangan dan memiliki laptop/notebook.
  • Relawan dapat mengoperasikan computer (Ms. Word) secara aktif.

Berikut fasilitas yang kamu dapatkan dengan menjadi relawan:
  • Snack
  • Makan siang
  • T-shirt
  • Sertifikat

Bagi yang berminat, monggo kirim SMS langsung dengan format:
(Nama_Email_No.HP_Alamat_Organisasi/Instansi) ke 085711889109 (Sofi).
Pendafftaran ditutup tanggal 15 Mei 2014.

Informasi lebih lanjut:
Yayasan Mitra Netra
Earth Circus Blog
atau silakan hubungi langsung CP di poster ya. :)


Yuk kita sama-sama make the world a better place starting from very small steps! See you guys in the event! :)

Kamis, 01 Mei 2014

Review Buku: Catalyst (Katalis) oleh Laurie Halse Anderson

Judul: Catalyst (Katalis)
Pengarang: Laurie Halse Anderson
Tanggal terbit: Januari 2011
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Goodreads


Dari Goodreads:
Kate Malone: pintar, mendapat nilai A untuk semua mata pelajaran, anak perempuan pendeta, dan pelari jarak jauh. Ia mampu mengatur hidupnya dengan baik dan menghabiskan waktu mengurus keluarganya sementara, pada saat yang sama, mencoba diterima di universitas impiannya, MIT. Ia sering berlari pada malam hari untuk melupakan masalah. Berlari jauh dan cepat melegakan kepalanya.

Kate menghabiskan waktu di sekolah dengan teman-teman dan pacarnya, Mitch, sambil menunggu surat datang dari MIT. Ketika akhirnya surat itu datang, dunia teratur Kate hancur berantakan karena MIT memutuskan ia belum bisa bergabung dengan universitas ternama itu. Dunianya bertambah rumit ketika ayahnya memutuskan membantu musuh masa kecilnya, Terry Litch, ketika rumah keluarga Litch terbakar. Mampukah Kate kembali ke hidup normal sebelum ia jadi gila?







Catalyst (Katalis) adalah buku yang berkesan untuk saya bahkan sebelum saya membacanya. Pertama, ini adalah karangan Laurie Halse Anderson. Hilda’s excited! Saya belum pernah membaca buku karangan Anderson, tapi saya sudah banyak mendengar puji-pujian akan buku karangan penulis tersohor di kalangan pencinta >realistic Young Adult tersebut. Kedua, buku ini saya beli dalam trip berdua bersama teman kuliah ke Bandung. Buku ini saya beli di Palasari, dan kebayang dong betapa senangnya saya mengunjungi area pencinta buku yang terkenal itu. :)

Catalyst sendiri kisahnya cukup sederhana. Tentang Kate Malone, seorang anak pendeta yang selama ini hidupnya selalu mengikuti garis lurus yang ditetapkannya sendiri. Lulus SMA dengan penghargaan, kuliah di MIT, dan menyelamatkan dunia dengan penemuan jeniusnya. Sayangnya, rencana Kate melenceng karena dirinya tidak diterima kuliah di MIT. Belum lagi tiba-tiba musuh masa kecilnya harus menginvasi ruang pribadi Kate dengan tinggal bersamanya karena kebakaran rumah. Apakah Kate mampu memperbaiki semuanya sebelum ia kehilangan kendali?

Pertama kali saya membaca Catalyst, saya sudah mengharapkan akan membaca kisah yang muram dan sedikit depressing. And boy, was I true. Catalyst adalah buku dengan jalan cerita yang intens dan depressing. Yang membuat saya mampu menyelesaikan buku itu dalam waktu beberapa jam adalah gaya penulisan sang penulis yang indah. Anderson mampu menjelaskan cerita tanpa memberitahu secara langsung kepada pembaca. Showing, not telling. Science tidbits di beberapa bagian buku juga memberi detil yang saya sukai.

Akan tetapi, sayangnya selain gaya penulisan, sulit menemukan hal lain yang saya apresiasi dari Catalyst. Meski sang penulis menampilkan banyak konflik di sepanjang cerita, akan tetapi saya tidak merasa satupun konflik tersebut terselesaikan di bagian akhir. Tidak ada perkembangan pada diri sang tokoh utama, Kate. Hal lain yang mengganggu saya adalah karena saya tidak pernah secara khusus emotionally attached ke satupun karakter. Ketika sesuatu yang sangat, sangat buruk terjadi di tengah cerita sekalipun, hal itu tidak benar-benar mengguncang perasaan saya sebagai pembaca.

Meski Catalyst adalah buku yang berkesan untuk saya karena dua hal yang saya sebutkan di bagian awal, sayang sekali ceritanya sendiri tidak berkesan. Walau saya menyukai gaya penulisan Anderson yang mendetil dan mampu membangkitkan imajinasi, saya kecewa dengan kisah yang lebih terasa seperti konflik-konflik-konflik tanpa resolusi ini. Mungkin akan butuh waktu beberapa lama sebelum saya memiliki keinginan untuk membaca karya lain dari sang penulis Catalyst.





 2 butterflies!
Not recommended, but kudos for the engaging writing!


Senin, 03 Maret 2014

Review Buku: Liesl & Po oleh Lauren Oliver

Judul: Liesl & Po
Pengarang: Lauren Oliver
Tanggal terbit: April 2013
Penerbit: Mizan Fantasi
Goodreads

Dari Goodreads:
Di hari ketiga setelah kematian ayahnya, Liesl melihat hantu.

Liesl dikurung di loteng oleh sang ibu tiri. Di malam-malam gelap, Liesl menghibur diri dengan menggambar. Lalu, kegelapan di lotengnya menggeliat dan melentur, memunculkan sesosok hantu. Po, yang datang dari Dunia Lain, tempat roh dan hantu berkeliaran di kegelapan yang membentang seluas semesta. Liesl berharap Po bisa menemukan ayahnya di Dunia Lain.

Suatu hari, tak sengaja Will, murid sang Alkemis, menukar kotak berisi sihir terkuat di dunia dengan kotak abu ayah Liesl. Sebuah kesalahan yang menarik dua anak dan satu hantu dalam sebuah petualangan yang menegangkan. Petualangan yang membuat Dunia Lain dan Dunia Nyata bersentuhan dan membuka rahasia-rahasia mengerikan.

Kisah tentang persahabatan dan rasa sepi, keserakahan dan kemurahan hati, kematian dan kehidupan, Lauren Oliver berhasil meramu kisah yang petualangan yang menegangkan sekaligus menghangatkan hati.




Dua orang bocah dan tiga hantu menyelamatkan dunia dari kemuraman abadi, begitulah inti ceritanya. Namun, apa yang membuat buku ini menarik?

Liesl & Po tidak jelas ditempatkan di rentang waktu yang mana dan di belahan Eropa yang mana. Kelas sosial yang terbagi-bagi di masyarakat mengingatkan zaman Victoria, namun adanya banyak cerobong asap dan alat-alat modern mengingatkan era sebelum Perang Dunia Pertama.

Akan tetapi, kita seolah dituntun menyaksikan keajaiban, meskipun kita belum tahu kejaiban apa yang kita nantikan dalam kisah ini.

Liesl dan Po hanya berjuang mengembalikan abu jenazah ayah Liesl ke rumah masa kecil Liesl dahulu, sebuah rumah mungil di tepi danau. Akan tetapi, misi sederhana nyaris tampak mustahil saat mereka tidak punya uang dan dicari-cari banyak pihak.

Gaya bercerita Lauren Oliver dalam buku ini mengingatkan saya akan gaya bercerita Kate DiCamillo dalam Tale of Desperaux. Setiap tokoh punya andil dalam cerita, tak peduli betapa remehnya.

Liesl, Po, dan tokoh-tokoh lain menunjukkan bahwa yang mustahil tampak mungkin ketika semua orang bekerja sama mewujudkan hasrat mereka, terlepas apakah hasrat tersebut berbenturan dengan impian orang lain.






 3 butterflies!
Tidak begitu berkesan, tapi cukup menarik.







Kamis, 27 Februari 2014

Review Buku: Gone Girl oleh Gillian Flynn

Judul: Gone Girl
Pengarang: Gillian Flynn
Tanggal Terbit: Mei 2012
Penerbit: Phoenix
Goodreads

Dari Goodreads:
On a warm summer morning in North Carthage, Missouri, it is Nick and Amy Dunne's fifth wedding anniversary. Presents are being wrapped and reservations are being made when Nick's clever and beautiful wife disappears from their rented McMansion on the Mississippi River. Husband-of-the-Year Nick isn't doing himself any favors with cringe-worthy daydreams about the slope and shape of his wife's head, but passages from Amy's diary reveal the alpha-girl perfectionist could have put anyone dangerously on edge. Under mounting pressure from the police and the media--as well as Amy's fiercely doting parents--the town golden boy parades an endless series of lies, deceits, and inappropriate behavior. Nick is oddly evasive, and he's definitely bitter--but is he really a killer? 

As the cops close in, every couple in town is soon wondering how well they know the one that they love. With his twin sister, Margo, at his side, Nick stands by his innocence. Trouble is, if Nick didn't do it, where is that beautiful wife? And what was in that silvery gift box hidden in the back of her bedroom closet?





Gone Girl adalah buku yang tidak pernah saya pikir untuk dibaca, paling tidak bukan dalam waktu dekat. Saya tahu nasib akan buku-buku sejenis Gone Girl yang saya beli. Duduk manis di rak buku, tersampul rapi, hanya untuk disapu debunya sekali-sekali dan dibaca beberapa tahun kemudian. Hampir saja buku ini mengalami nasib yang sama dengan kawan-kawannya, jika saya seminggu lalu tidak bosan dan mengambil buku secara acak. Beberapa belas halaman awal, dan BAM!

Saya tidak dapat berhenti membaca.

Gone Girl, dengan karakternya yang dengan hati-hati dibentuk dan plot yang dipikirkan matang-matang, berhasil menyihir saya. Ini bukan kisah misteri biasa di mana kita hanya dibawa menebak-nebak apakah si suami memang membunuh istrinya. Sebaliknya, buku ini sarat akan karakter-karakter rumit yang tidak hanya terdiri dari satu lapisan. Saya akui saya bukan ahli dalam memecahkan kasus di buku, tetapi saya telah cukup banyak bertemu karakter buku untuk mengenali stereotipe. Karakter yang baik seluruhnya, atau jahat sampai ke akar-akarnya. Gone Girl mengajak saya menemui karakter yang memiliki sisi baik dan buruknya, karakter-karakter yang mungkin tidak kita cintai, namun juga tidak mampu kita benci. Karakter-karakter yang secara tidak sadar membuat kita terikat secara emosional dengan mereka.

Nick dan Amy, dua karakter utama di buku ini, memainkan permainan yang berbahaya. Satu langkah keliru dan segalanya akan berakhir, tidak dengan damai namun dengan darah dan kebencian. Mungkin benar bahwa perbedaan benci dan cinta setipis kertas. When we hate someone, we become acutely aware of what the other person doing. We study the person, catalogue everything that the person likes and hates, and wait for the right opportunity to launch the attack. Persis apa yang terjadi pada karakter-karakter di buku ini.

Butuh kesabaran untuk membaca Gone Girl, tapi saya yakin bahwa sekali Anda membacanya, Anda akan kesulitan meletakkannya. Seperti saya, Anda akan bertanya-tanya: Apa sebenarnya yang terjadi? Benarkah Nick membunuh Amy? Siapa sesungguhnya dalang di balik semua ini? Gone Girl akan membuat Anda kehabisan kata-kata dengan plotnya yang brilian, karakter yang tidak mudah ditebak, dan penulisan yang indah. Ini adalah psychological thriller luar biasa yang saya yakin tidak akan Anda sesali baca.

I will find you, Amy. Lovesick words, hateful intention.



 4 butterflies!
Karakter yang nyata dan plot yang sangat, sangat rapi.




Senin, 03 Februari 2014

Review Komik: Niina's First Love Story oleh Koyomi Minamori


Judul: Niina's First Love Story
Pengarang: Koyomi Minamori
Tanggal Terbit: 2013
Jumlah volume: 4
Penerbit: M&C!

Sinopsis dari cover buku:
“Sejak dulu, aku sudah menyukaimu.”

Chitose Amamiya meninggal di usianya yang ke-15. Dia lalu terlahir kembali sebagai Niina Aoyagi. 10 tahun telah berlalu. Niina pindah ke rumah baru dan berjumpa dengan Atsuro, lelaki yang pernah menjadi pacarnya di kehidupan sebelumnya sebagai Chitose. Niina pun bingung harus merasa senang atau sedih saat mengetahui Atsuro masih mencintai Chitose, apalagi usia mereka kini terpaut 15 tahun.
 
Satu hal yang pasti, baik di kehidupan sebelumnya maupun sekarang, perasaannya terhadap Atsuro tak pernah berubah.




Saya suka sekali kisah cinta beda usia, apalagi yang beda usianya cukup jauh. Addicted, maybe. Rasanya oh-so-sweet bahwa cinta berhasil melampaui perbedaan usia. Yang merasakan hal yang sama dengan saya, acungkan jari! *hening* Oke, lanjut.

Selain karena perbedaan usia kedua tokoh yang cukup jauh yaitu 15 tahun, hal yang membedakan manga ini dari manga lainnya adalah karena reinkarnasi mengambil bagian dalam cerita. Niina sang tokoh utama adalah kekasih dari Atsuro di kehidupan sebelumnya. 10 tahun lalu, Chitose yaitu Niina di masa lalu mengalami kecelakaan dan sejak itu Atsuro menyalahkan dirinya sendiri. Chitose yang telah terlahir kembali menjadi Niina pun harus berjuang mendapatkan cinta Atsuro yang tidak mampu melupakan Chitose.

Secara pribadi, Niina’s First Love masuk ke dalam koleksi favorite-manga saya. Artwork yang indah dan cerita yang menyentuh dengan mudah membuatnya naik ke posisi atas. Terlebih, saya mengagumi sifat Niina yang pantang menyerah dan dengan dewasa menangani permasalahan-permasalahan yang muncul di cerita. Niina sadar bahwa luka hati Atsuro yang ditinggalkan Chitose sangat dalam, maka ia pelan-pelan berusaha membuat Atsuro sadar akan keberadaannya. Ketika Niina bertemu kembali dengan keluarga dirinya di kehidupan sebelumnya pun Niina menangani masalah itu dengan hati-hati dan dipikirkan mendalam, maupun ketika ia galau dengan pilihan kuliahnya. Saya suka sekali bahwa Niina memutuskan mengejar mimpinya, bukan cowok (errr, no offense jika ada yang merasa diserang. Ini pendapat pribadi lho ;) ).

Bagi penggemar romance manga, Niina’s First Love adalah serial yang saya sangat rekomendasikan. Pas banget buat hadiah Valentine untuk pacar haha, tapi bagi yang lagi jomblo waspada galau karena cerita Niina dan Atsuro yang super sweet. Sangat menyentuh, indah, dan manis, Niina’s First Love akan membuat kamu tersenyum-senyum sendiri akan kisah cinta pasangan beda usia ini.




Five butterflies!
Romantis dan penuh dengan  lovable characters. LOOOVE this book!
∩˙▿˙∩



Jumat, 31 Januari 2014

Review Buku: The Ocean at The End of The Lane - Samudra di Ujung Jalan Setapak oleh Neil Gaiman

Judul: The Ocean at The End of The Lane - Samudra di Ujung Jalan Setapak
Pengarang: Neil Gaiman
Tanggal Publikasi: Agustus 2013
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Goodreads

Sinopsis dari Goodreads:
Samudra di Ujung Jalan Setapak adalah fabel yang membentuk ulang kisah fantasi modern: menggugah, menakutkan, dan puitis—semurni mimpi, segetas sayap kupu-kupu, dari pencerita genius Neil Gaiman.

Kisahnya dimulai empat puluh tahun silam, ketika pemondok di rumah keluarga sang Pencerita mencuri mobil mereka dan bunuh diri di dalamnya. Peristiwa ini membangkitkan kekuatan-kekuatan purba yang seharusnya dibiarkan tak terusik. Makhluk-makhluk gelap dari dunia seberang kini lepas, dan sang Pencerita harus mengerahkan segala daya upayanya agar bisa bertahan hidup: ada kengerian yang nyata di sini, dan kuasa jahat yang terlepas—di dalam keluarganya dan dari kekuatan-kekuatan yang bersatu untuk menghancurkannya.

Yang bisa melindunginya hanyalah tiga perempuan yang tinggal di pertanian ujung jalan. Perempuan yang paling muda menyatakan kolam bebeknya adalah samudra. Perempuan yang paling tua mengaku pernah menyaksikan peristiwa Ledakan Besar.





3.5 stars

Kata Lettie Hempstock, itu samudra, tapi aku tahu itu tidak mungkin. Kata Lettie, mereka datang kemari menyeberangi lautan, dari negeri lama.

The Ocean at the End of the LaneSamudra di Ujung Jalan Setapak – adalah dongeng fantastis persembahan terbaru dari Neil Gaiman.

Peristiwa-peristiwa aneh dimulai semenjak kejadian bunuh diri penyewa kamar di rumah si Pencerita, seorang anak laki-laki berumur tujuh tahun. Kematian pria tersebut memicu serangkaian kejadian aneh yang berkaitan dengan uang di lingkungan pedesaan mereka. Lettie Hempstock, anak aneh yang tinggal di pertanian di ujung jalan setapak, mengajak si Pencerita untuk membereskan makhluk yang menyebabkan kejadian-kejadian tersebut. Akan tetapi, makhluk tersebut tidak semudah itu diusir, dan kedatangan si Pencerita ke wilayahnya adalah saat yang tepat untuk kabur dan menghancurkan tatanan di dunia…

Ganjil, gelap, dan menghantui adalah kata yang tepat untuk menggambarkan buku ini. Seperti Coraline, Samudra di Ujung Jalan Setapak adalah kisah yang aneh, mengerikan, dan dipenuhi makhluk-makhluk tua yang mengincar kerakusan manusia. Bagaikan domino mimpi buruk, si Pencerita telah membawa makhluk lain itu ke dunia manusia, dan sebagai balasannya ia harus membayar mahal. Tidak seperti Coraline yang masih bisa dibaca anak-anak, Samudra di Ujung Jalan Setapak adalah dongeng yang diperuntukkan untuk dewasa.

Beberapa bagian di buku ini berhasil membuat saya berdebar-debar dalam antisipasi. Ketika makhluk tersebut muncul di rumah si Pencerita dalam wujud manusia, kita tahu bahwa ini adalah permainan kucing dan tikus yang mengerikan. Akankah makhluk itu mendapatkan si Pencerita dalam genggamannya? Akankah Lottie menolongnya tepat pada waktunya? Duh, pertanyaan-pertanyaan itu membuat hati saya kebat-kebit dan tidak mampu meletakkan buku ini.

Meskipun excitement dan thriller di buku ini agak melemah di bagian akhir bagaikan potongan puzzle yang tidak sempurna, saya tetap memberikan acungan jempol kepada Neil Gaiman, sang penyihir kata-kata. Ia mampu menciptakan makhluk yang membuat bulu kuduk meremang dan meramunya menjadi kisah yang fantastis. Terjemahan buku ini menurut saya lumayan, meskipun saya agak kecewa karena beberapa bagian lagu dipilih untuk tidak diterjemahkan. Kudos untuk cover edisi Indonesia Samudra di Ujung Jalan Setapak. Sangat indah dan sukses menarik mata saya ke buku ini.


Akhir kata, buku ini saya rekomendasikan terutama untuk fans Neil Geiman dan dark fairytales. Gelap dan menghantui, buku ini pantas untuk dibaca paling tidak sekali.




 3.5 butterflies!
Agak terlalu aneh untuk selera saya, but magical as always.





Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...