Sabtu, 30 November 2013

Review Buku: Emily's Quest oleh L.M. Montgomery

Judul: Emily's Quest
Pengarang: L.M. Montgomery
Tanggal Publikasi: July 1983, first published 1927
Penerbit: Dell Laurel-Leaf
Goodreads

Sinopsis dari Goodreads:
Emily knows she's going to be a great writer.  She also knows that she and her childhood sweetheart, Teddy Kent, will conquer the world together.  But when Teddy leaves home to pursue his goal to become an artist at the School of Design in Montreal, Emily's world collapses.  With Teddy gone, Emily agrees to marry a man she doesn't love ... as she tries to banish all thoughts of Teddy.  In her heart, Emily must search for what being a writer really means....





This book is full of hardship, ambition, self-denial, and self-doubt, but surpringly Emily's Quest is one of my most favorite books this year!

Sebelum membaca buku ketiga serial Emily, saya sempat melihat-lihat review di goodreads yg memperingatkan bahwa jalan ceritanya akan jauh lebih kelam dan suram dibandingkan kedua buku sebelumnya, apalagi jika dibandingkan dengan Anne of Green Gables . Wah, saya yang anti bacaan depresi jadi agak keder. Namun, setelah iseng membaca chapter pertama Emily's Quest, I was hooked! Saya malah ketagihan dan bahkan curi-curi waktu membaca Emily's Quest sewaktu boarding di pesawat.

Cerita dibuka dengan gambaran Emily yg sudah lulus sekolah dan siap mendaki tangga kesuksesan menjadi penulis tulen. Teddy, sahabat yang notabene cinta pertama Emily, akan pergi jauh untuk menguji bakat melukisnya. Sebelum berangkat, mereka berdua bertemu malam-malam sambil memandang bintang dan berjanji akan saling mengingat satu sama lain setiap kali melihat bintang Vega dari rasi Lira bersinar, tak peduli sejauh apapun jarak memisahkan. So sweet, innocent, and hopeful.

Emily, Teddy, Ilse, dan Perry segera berpisah jalan untuk mengejar mimpi masing-masing. Emily yg memilih menetap di New Moon terus giat menulis cerita, namun ia merasa kesepian. Semua sahabatnya sibuk di lingkaran pergaulan baru dan banyak sekali karya Emily yg ditolak penerbit. Jalan menuju kesuksesan sangat terjal seperti yang dulu diramalkan Miss Royal.

Nah, yg menarik adalah meski Emily terus menerus teringat sosok Teddy (oh, first love), Emily tidak menutup diri. Para kekasih dan calon kekasih datang dan pergi di New Moon, menimbulkan gosip dan reputasi baru bagi Emily. Hebatnya, semua pelamar tidak ada yg biasa-biasa saja. Emily always has fantastic love affairs! Satu keluarga besar cemas setengah mati setiap kali ada cowok yg berniat mendekati Emily.

Akan tetapi, suatu ketika muncul peristiwa tragis yang membuat Emily tidak sanggup menulis dan tertawa sepenuh hati. Saat itulah Dean "Jarback" Priest, bujang lapuk yang selama ini hanya sekadar sahabat berbagi cerita walau selalu menghilang di musim dingin, membawa sesuatu yg mungkin menjadi kebahagiaan Emily. Lalu, bagaimana dengan Teddy yang lama tak ada kabar? Dan mengapa tiba-tiba ada gosip antara Ilse dan Teddy? Terus, apa kabar nasib lamaran Perry yg selama ini selalu ditolak Emily?

Membaca buku ini membuat hati kebat-kebit. L.M. Montgomerry akhirnya membeberkan juga kisah rahasia yg sudah ditahan sejak buku pertama. Jealousy is ugly trait, and possesive lovers should be damned. Ah, si pengarang juga menuturkan pengalaman cintanya dulu sewaktu muda dengan sangat halus melalui momen-momen romantis kecil yg ampuh melelehkan hati dan bikin senyum-senyum sendiri. Bertatapan mata penuh makna di depan perapian, ngobrol santai berdua, menikmati diam yang menyenangkan, dan jaga gengsi padahal rindu setengah mati.... Emily memendam itu semua dalam hatinya. Tidak ada kata-kata cinta terang-terangan dan hanya ada harapan rahasia yang disimpan bertahun-tahun. Arghh... ini nih yg bikin mangkel, tapi juga ketagihan membacanya. Cepet sadar dong, Emily! Raih kebahagiaanmu!

Buku ini memang berhasil memikat saya, namun bukan berati tanpa cacat. The ending ruined it. Sangat terburu-buru, seolah kita tiba-tiba disuruh lari spint setelah berjalan-jalan santai di pantai. There should be two or three more concluding chapters. I mean it. Ending yang diberikan L.M. Montgomerry benar-benar menggoda untuk membayangkan ending versi imajinasi sendiri.

But, afterall, it is a really nice read.

Sekadar catatan, Emily's Quest lebih tepat ditujukan bagi yang sudah tamat SMA, terlebih bagi para fresh graduate karena Emily banyak membicarakan pengalaman pahit-manis mencapai kesuksesan berkarir dan prospek menjadi cat lady di masa tua.

Dan ya, ini memang buku semi-autobiografi L.M. Montgomerry. 





5 butterflies!
Mindblowing! Salah satu favorit saya tahun ini.



Selasa, 26 November 2013

Movie Review: The Hunger Games: Catching Fire




Saya mungkin salah satu orang ter-excited di dunia akan rilisnya Catching Fire. *lebay mode on*

Karena OMG! OMG! Catching Fire! Peeta and Katniss! Capitol fashion couture! Finnick! Finnick!! FINNICK NOW MOVE AWAY EVERYBODY LEMME GET MA BOY.


Finnick and his infamous sugar cube scene ;)
 Er, maaf. Sulit menahan fangirl pada Finnick, salah satu karakter utama yang diperkenalkan pada instalasi kedua The Hunger Games ini. When you meet Finnick, you’ll get why I’m so head over heels over him. ;)

Anyways, Catching Fire adalah film yang paling saya tunggu-tunggu di tahun 2013. Apalagi karena film ini sendiri dirilis satu setengah tahun dari premiere film pertamanya, The Hunger Games. Saya adalah penggemar berat trilogi The Hunger Games, dan saya terutama harap-harap-cemas melihat apakah Catching Fire akan menjadi adaptasi yang se-hype dan seluarbiasa film pertamanya.

Catching Fire menceritakan kelanjutan hidup Katniss Everdeen setelah kemenangan dirinya dan Peeta Mellark di kompetisi bertahan hidup The Hunger Games. Tur kemenangan yang dijalaninya bersama Peeta membawa mereka berkunjung ke distrik-distrik lain, di mana Katniss mulai menyadari adanya keresahan dan pemberontakan di distrik-distrik akan pemerintah ibukota, Capitol. Selain pemberontakan distrik-distrik yang semakin memanas, Katniss juga dihadapkan dengan dilema hubungan asmaranya antara Peeta dan Gale, sahabat baik sekaligus teman berburunya. 


Salah satu scene favorit saya. I dare you not to cry!
 Pertama-tama, aplaus untuk sang sutradara Francis Lawrence karena telah mempersembahkan film penuh aksi yang menegangkan. Sejujurnya saya pikir adaptasi film Catching Fire lebih banyak aksinya dibandingkan bukunya sendiri. Saya terutama menikmati tur kemenangan yang dijalani Katniss dan Peeta, karena setting kereta dan distrik-distrik yang luar biasa, serta atmosfer mencekam yang begitu terasa. Saya pikir, tidak berlebihan mengatakan bahwa Jennifer Lawrence adalah Katniss Everdeen. Jennifer dapat dengan memukau menampilkan berbagai sisi Katniss – bagaimana Katniss begitu garang melindungi keluarganya, maupun sisi lemah Katniss ketika bingung dan hilang kendali.

Saya sangat menyukai baju-baju yang dikenakan oleh para pemain di film ini. Fans The Hunger Games pasti mengetahui adanya Capitol Couture, yaitu fashion line bagi para warga Capitol di dunia The Hunger Games. Fashion Capitol Couture sendiri unik dan cenderung berlebihan, tetapi tetap memiliki keindahan yang saya kagumi. Sedikit mengingatkan saya pada baju-baju yang dikenakan oleh Lady Gaga. ;) 




Pada akhirnya, saya hanya ingin mengatakan satu hal: TONTON FILM INI. Karena The Hunger Games is sooo sooo sooo awesome, and Catching Fire is just as awesome. Aaaah menderita sekali rasanya harus menunggu setahun lagi sebelum menonton Mockingjay: Part 1. Tidak sabar menunggu bagaimana sang sutradara akan mewujudkan konflik politik berdarah ke layar film, apalagi menampilkan Katniss yang hilang arah dan depresi di Mockingjay.

PS: Saya Team Peeta. Forever and after. ♥ 









Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...