Sabtu, 28 Maret 2015

Asean Literary Festival 2015 Adventure



Halo! Hari ini saya mau cerita pengalaman saya pada Asean Literary Festival (ALF) 2015. Festival yang diadakan dari taggal 15-22 Maret ini merupakan rangkaian roadshow ke taman, perpustakaan, dan universitas, sebelum puncaknya di Taman Ismail Marzuki. Tahun lalu saya datang sebagai penonton, tapi tahun ini saya menjadi salah satu sukarelawan. Tahun depan? Saya jadi speaker, dong! -> abaikan

Festival dibuka dengan pembacaan puisi dan musikalisasi puisi di Taman Menteng. Ada cukup banyak tokoh yang datang, beberapa di antaranya Bernard Batubara, Saras Dewi, dan tentunya co-founder festival ini Okky Madasari. Pembukaan dengan judul Poetry in the Park itu berhasil berjalan cukup lancar meski sebelumnya hujan deras di Taman Menteng. Acara pun dilangsungkan di rumah kaca dan ditutup dengan… meletuskan balon yang seharusnya diterbangkan haha. Penampilan puisi yang paling saya ingat mungkin dari Sastra Kalimalang. Totalitas penuh dengan buka-buka baju. (it’s a guy, in case you’re curious)

Setelah pembukaan yang diwarnai hujan, Senin sampai Rabu diisi dengan roadshow ke perpustakaan dan universitas. Akhirnya sampai juga di hari Kamis, yang merupakan Opening Night dari ALF 2015! Saya sebagai Liaison Officer berlaku sebagai penerima tamu pada Malam Pembukaan. Yang paling saya ingat dari tamu yang hadir sih ketika Menteri Luar Negeri Retno Marsudi datang dengan mobil yang berhenti tepat di pintu gerbang teater kecil TIM. Huge impression is understatement. ;) Setelah makan malam dan ramah tamah, gerbang teater kecil dibuka pada pukul 8 malam.

Ananda Sukarlan dan Nikodemus Lukas
Acara dimulai dengan tarian Poetry in Motion karya Nabilla Rasul. Saya ingat pernah menonton karyanya yang lain yang pernah dipentaskan di GoetheHaus. Sama indah dengan sebelumnya. Kemudian acara dilanjutkan dengan pembacaan puisi oleh Krisna Pabichara dan Binar Mentari, lalu kuliah umum dari aktivis HAM asal Myanmar, Ma Thida. Permainan piano Ananda Sukarlan dan nyanyian Nikodemus Lukas sulit dilupakan, pastinya. Jari-jemari Ananda Sukarlan bagai menari di atas piano, dan saya tanpa sadar membandingkannya dengan tokoh Nodame dari Nodame Cantabile hehe.

Puncak acara diisi oleh Signmark. Signmark adalah rapper tuli asal Finlandia. Penampilannya sangat unik! You can actually feel his passion for music despite of his inability to hear. Klik di sini untuk melihat penampilan Signmark di Youtube.

Signmark sebagai penutup opening night!

Jumat, Sabtu, dan Minggu diisi dengan diskusi dan workshop. Stand-stand juga banyak mengisi halaman TIM. Bagi pencinta diskon disediakan bazaar buku murah dari Gramedia. Ada juga stand-stand penerbit Serambi dan GagasMedia, NulisBuku, jurnal Lontar, Sobat Budaya, Frankfurt Book Fest, serta Korean Cultural Center. Sayang saya tidak sempat memotret semua stand tersebut. Bagi yang mau makan, ada Food Bazaar juga yang menjual makanan-makanan khas Indonesia.

Booth Korean Cultural Center yang sempat difoto. Maaf saya biased haha.

Diskusi Book Industry in Asean Countries di teater kecil
Hari Sabtu, saya datang ke diskusi Literature and Media serta Book Industry in Asean Countries. Alasan utama sih karena speakers saya mengisi diskusi tersebut haha, tapi ada banyak poin menarik di diskusi terutama tentang censorship dan apakah bisa kita menulis dalam Bahasa Inggris untuk diterbitkan bukunya di Indonesia? (the answer is you shouldn’t, unless you self-publish it or publish it in Singapore) Saya juga sempat nonton diskusi dengan Clara Ng tentang children literature. Sempat foto bareng juga di akhir -> MISSION ACCOMPLISHED.

Di hari Sabtu juga saya sempat nonton penampilan dari Korean Cultural Center. Mereka mempersembahkan tarian K-Pop dan tradisional, juga kaligrafi dengan kuas raksasa. Saya dan beberapa sukarelawan lain yang juga fans K-Pop sih senang banget lihat penampilan cover dance tari K-Pop haha. Mungkin foto yang paling banyak saya ambil di festival ini pas tari K-Pop -> GUILTY. Sayang mereka menampilkan VIXX “Error” bukan GOT7 le crying

the traditional dance!

VIXX "Error". They did a good job covering the dance I think. :) Y NO GOT7 THO

I La Galigo
Hari Minggu, ada diskusi Literatures and the Fight for Equality and Justice yang saya tunggu-tunggu. Salah satu speaker, Ms. Lobna Ismail, membicarakan tentang usaha mencapai persamaan gender di Mesir. Karena topik skripsi saya mirip-mirip, saya senang bisa belajar banyak dari diskusi tersebut. Malamnya merupakan penutupan dari rangkaian acara ALF 2015. Penampilan I La Galigo dengan Khrisna Pabichara sangat berkesan tentunya (brb follow his twitter). Pembacaan puisi oleh Pak Zawawi Imron juga meninggalkan impresi kuat. Rasanya seperti melihat stand-up comedy ketika beliau di atas panggung hehe. Beliau hanya sendiri, tapi keberadannya sangat kuat! Ada juga penampilan dari Malam Puisi Jakarta, Joko Pinurbo, dan Nov yang menutup malam dengan indah.

Zawawi Imron. Simply speechless.


Malam Puisi Jakarta. Great poems!


Nov. Lovely songs!

The lovely books!
 And… that’s a wrap for my Asean Literary Festival 2015 adventure! Saya tidak sempat lihat-lihat bazaar Gramedia waktu acara, tapi sempat ke booth Serambi untuk membeli buku Katak dalam Tempurung karya Josephine Chia. Saya ketemu Ms. Chia sebagai salah satu speaker di ALF 2015, and she’s one of the sweetest person I’ve met. :) Link Goodreads untuk Katak dalam Tempurung. Salah satu speaker lain juga memberi saya buku Open the Window, Eyes Closed karya Nguyen Ngoc Thuan. Saya penasaran dengan buku ini karena katanya ini adalah A Little Prince-nya Vietnam! Looking forward to read this.


Workshop Starting Your Own Unique and Attractive Library and Bookstore

Tahun depan juga akan ada Asean Literary Festival, jadi yang tidak datang tahun ini bisa datang tahun depan, ya! Akan ada banyak diskusi dan workshop lagi. Bisa juga daftar jadi sukarelawan seperti saya yang kemungkinan dibuka bulan Februari lagi. Semua diskusi gratis, hanya workshop yang harus bayar. Saya sendiri datang ke workshop Starting Your Own Unique and Attractive Library and Bookstore kemarin dengan Shintaro Uchinuma. Lumayan menarik sih, tapi diskusi yang gratis juga menarik kok hehe. You can follow ALF's Twitter here.

Terima kasih sudah membaca sampai sini! See you at the next ALF! Saya mungkin jadi penonton saya ya tahun depan haha. Lebih banyak waktu untuk nonton diskusi tanpa harus ngejar-ngejar speakers! :P


Jumat, 27 Maret 2015

Review Buku: He Loves Her Till the End oleh Monica Petra

Judul: He Loves Her Till the End
Pengarang: Monica Petra
Tanggal Terbit: 2008
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Goodreads


Dari Goodreads:
Gadis sebenarnya malu pacaran dengan Reno, karena cowok itu jadul dan malu-maluin banget. Bayangin, kesukaan Reno adalah baca buku dan ikut perlombaan ilmiah. Setiap hari cowok itu mengantar Gadis ke sekolah naik sepeda mini!

Saat muncul Yustian yang keren dan tajir, hati Gadis terbelah dua. Anak basket vs. kutu buku, gimana nih? Apalagi Yustian bisa mengantar-jemput Gadis naik mobil, sementara sepeda mini Reno hanya berganti dengan vespa tua.

Akhirnya, meskipun merasa bersalah, Gadis memilih Yustian. Tapi apakah cinta Reno pupus begitu saja?






Well... if you survive the emotional trainwreck presented in this story, you may learn one of two things. Misalnya, jika kamu sudah punya pacar yang baik hati dan rela menerima kekurangan kamu, ingatlah bahwa dia adalah satu di antara sejuta. Jaga si pacar baik-baik. Kalau kamu bosan kencan yang gitu-gitu aja, ajak dong dia ikutan bungee jumping atau snorkeling! Dan jika kamu didekati cowok lain yang lebih bling-bling, renungkan apa yang kamu cari. Kasih sayang? Popularitas? Drama?

Monica Petra dengan luwes mengajak pembacanya masuk ke dalam isi kepala Gadis, seorang anak SMA yang mengalami dilema cinta segitiga. Jangan bayangkan serial vampir dan manusia serigala, karena yang ditawarkan buku ini adalah dua cowok biasa yang bertolak belakang.



*SPOILER ALERT! RANT AHEAD!*

Naik ke kelas tiga SMA, Gadis akhirnya memiliki pacar pertama. Namanya Reno, cowok tetangga yang sering berkunjung ke taman baca kecil milik keluarganya. Namun, Gadis malah galau. Bukan galau
 karena belajar untuk persiapan ujian masuk universitas, tetapi galau karena urusan asmara.

Usut punya usut, Gadis menilai Reno terlalu culun untuk dipekernalkan sebagai pacar. Setelah resmi berpacaran, Gadis baru menyadari bahwa gaya Reno yang old-school tidak sesuai dengan lingkungan teman-temannya yang 'kekinian'. Apalagi pilihan kendaraan Reno adalah vespa butut atau sepeda mini. Anak SMA gaul mana yang sudi dibonceng naik sepeda mini?

Gadis juga merasa acara kencan mereka berdua nggak keren. Akibat terbentur kondisi dompet yang pas-pasan, lokasi kencan mereka nggak jauh-jauh dari berduaan di rumah Gadis atau di warteg. Huh, mana seru!

Makanya, kalau Gadis ditanya apakah punya pacar, dia lebih memilih bungkam.

Saat muncul cowok keren bernama Yustian yang menawarkan tumpangan ke sekolah, Gadis pun langsung menerima dengan sukacita. Mobil Yustian jauh lebih nyaman dan membanggakan daripada berdesakan di angkot atau naik sepeda mini Reno.

Toh, Reno juga nggak pernah protes. Reno memang pacar yang saaaaangat pengertian. Cowok itu selalu berlapang dada. Baginya, selama bibir Gadis masih mengatakan "Aku sayang kamu", nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Mau ada lima Yustian juga, Reno tetep pede. Janji yang dibatalkan sepihak? Relax. Pergi berduaan dengan teman tanpa kabar? No problem. Pesta ulang tahun melupakan pacar? It's okay. Diancam cowok lain yang suka Gadis? Tenang aja....

Halllooo... Reno! Reality check, please.

Reno lupa kalau perasaan bisa berubah. Hujan perhatian kecil yang diberikan Yustian mampu menandingi limpahan kasih sayang Reno. Malam demi malam, pemuda yang menyelusup di mimpi Gadis adalah Yustian, bukan Reno yang berstatus pacar.

To be fair, Gadis sempat berusaha menjadi pacar yang baik, dia rela menjual ponselnya demi membantu keluarga Reno. Gadis juga sempat menjauhi Yustian. Dia bahkan mengupayakan pulang sebelum jam lima sore agar bisa menjaga tradisi kencan hariannya dengan Reno. Gadis juga berulang kali mengingatkan diri untuk menjalani kewajiban sebagai pacar yang berhati lurus. Namun, apa daya dia tidak kuat menolak godaan kencan bareng Yustian dan geng populer.

Mengenai karakter, untuk Gadis sudah diputuskan bahwa dia adalah simbol cewek cantik yang senantiasa bimbang dan mudah dipengaruhi. Apakah karena dia masih SMA lalu dia galau terus-menerus? Hanya penulisnya yang tahu.

Sedangkan untuk karakter Reno, cowok ini sukses membuat saya berteriak frustasi. Saya tidak yakin apakah Reno adalah cowok terlalu baik atau terlalu bego. Pasrah banget sikapnya. Meskipun saya salut atas sikap Reno yang mau berjuang demi keluarga, cowok ini jelas-jelas kebablasan berkorban untuk masalah cinta. Please, ada garis batas antara terlalu baik dan terlalu bego.

Nah, hal yang paling membingungkan adalah perkembangan karakter Yustian. Awalnya sih karakter ini dapat dimaklumi sebagai cowok populer yang biasa mendapatkan apa yang dia mau. Ganteng, kaya, dan charming... cewek SMA mana yang tidak terpikat? Sayangnya, karakter Yustian di penghujung cerita malah bikin ilfeel, perubahannya terlalu mendadak. Perkiraan saya sih, perubahan karakter ini untuk mendorong Gadis (akhirnya) mengambil keputusan.
 




  2 butterflies!

The verdict? Dua kupu-kupu untuk drama cinta segitiga SMA yang sederhana.




Minggu, 08 Februari 2015

Review Buku: The Dusty Sneakers oleh Teddy W. Kusuma dan Maesy Ang

Judul: The Dusty Sneakers
Pengarang: Teddy W. Kusuma dan Maesy Ang
Penerbit: Noura Books
Tanggal Terbit: Agustus 2014
Goodreads


Dari Goodreads:
Sore itu, saat Jakarta baru saja hujan, koper-koper besar telah terisi penuh. Sahabat saya itu benar-benar telah siap berangkat. Perasaan kami menjadi sedikit melankolis. Tentu kami bergembira akan keberangkatannya ke Eropa, tetapi perpisahan untuk waktu yang lama membuat kami bersedih juga.

“Surel dariku akan menghujanimu!”
“Kita akan berkontak lewat Skype!”
“Aku akan menyusulmu ke sana!”
“Tentu saja kau akan menyusulku, tinggal naik Kopaja!”
Kami pun terkikik-kikik.

“Tuliskanlah untukku kisah-kisah perjalananmu di sana. Ceritakanlah tentang bunga tulip, tentang jalan yang dilalui Jesse dan Celine di film Before Sunset, atau tentang rumah para vampire di Rumania,” pinta saya.

“Tuliskanlah juga kepadaku kisah-kisah petualanganmu. Tentang senja-senja terbaik yang kau lihat, juga tentang kawanmu yang ganjil itu, si Arip Syaman,” pintanya.

The Dusty Sneakers pun dimulai. Lewat kata, Gypsytoes dan Twosocks berusaha memaknai setiap perjalanan, dan tentu saja, menjembatani jarak yang jauh di antara mereka.

Catatan dari Paris yang bercahaya menyapa renungan di titik nol di Merauke. Pekat malam puncak Merapi larut bersama sudut misterius Kota Praha. Siprus yang berwarna biru mengisi wajah Bali yang murung sebelah. Ini adalah kisah-kisah si gadis petualang kutu buku dan si pemuda melankolis yang terkadang jenaka. Kisah yang menggantikan bincang-bincang mereka di antara bercangkir-cangkir teh dan kopi, kisah kawan di ujung sana.





Pertama kali saya mendengar tentang The Dusty Sneakers, saya sedang menguntit Twitter Noura Books. Ada pemberitahuan tentang event yang diadakan di POST, toko mungil milik pasangan penulis buku ini. Saya pun memutuskan harus ke POST dan melihat sudut kreatif yang mereka buat di Pasar Santa. Mungkin membeli The Dusty Sneakers selagi berkunjung. Tapi ketika bertemu mereka, jujur saya kehilangan setengah otak saya. Apa yang harus saya katakan? HAI-AKU-NGEFANS-BLOG-KALIAN-BOLEH-BELI-BUKUNYA-ENGGAK. Oke. Bukan respons yang kedengaran intelek sedikitpun. Saya pun pulang… setelah membeli buku Alice in Wonderland dan Kisah Masa Kecil Roald Dahl. Target membeli buku The Dusty Sneakers gagal semata-mata terlalu kikuk untuk mengambilnya.

Untungnya kakak tercinta Farisa membeli buku ini kemudian sehingga saya bisa membacanya. The Dusty Sneakers berkisah tentang perjalanan-perjalanan dua sahabat yang terpisah. Gypsytoes di Belanda dan Twosocks di Indonesia. Kisah-kisah Gypsytoes menceritakan pertemuannya dengan orang-orang baru, tempat-tempat yang tak pernah ia sangka akan ia kunjungi, dan memaknai baru arti perjalanan. Di lain sisi, kisah-kisah Twosocks mengajak kita melihat Indonesia dari sisi lain, membawa kita berkenalan dengan teman-teman lamanya, dan mempertanyai apa yang bisa kita lakukan untuk negeri ini.

Kalau diandaikan, kisah Gypsytoes bagaikan menari bertelanjang kaki di alun-alun kota dan Twosocks bagaikan pemain musik yang mengiringinya. Kedua cerita menambah kesenangan membaca. Saya senang karena tidak ada kesan menggurui dalam penceritaannya. Terkadang gaya penceritaan Twosocks mengingatkan saya kepada Andrea Hirata. Yang paling saya ingat dari kisah Gypsytoes adalah perjalanannya ke India dan kalimatnya bahwa yang paling penting dari perjalanan adalah teman perjalananmu. Dalam perjalanan, bahkan sahabat terbaik pun pasti dapat bertengkar. Saya sendiri dari pengalaman pribadi telah mengalaminya berkali-kali: how traveling can bring the best and the worst of us.

Akhir kata, saya merekomendasikan The Dusty Sneakers untuk para di luar sana. Buku yang lebih mirip jurnal kedua sahabat ini ditulis dengan apik dan terasa jelas dari hati. Sayang sekali tidak ada foto disertakan dalam kisah-kisah mereka sehingga pembaca terpaksa cukup puas membayangkan tempat-tempat yang mereka kunjungi. Buku ini sendiri cukup tipis dan saya yakin dapat diselesaikan dalam satu kali duduk. Saya yakin setelah membaca The Dusty Sneakers, perasaan berpetualang kamu akan semakin sulit dibendung!





 

4 butterflies!
 Kisah yang asyik untuk menghabiskan sore (sambil minum teh atau kopi!).


Jumat, 30 Januari 2015

Review dan Posting Bareng: Amy and Roger's Epic Detour oleh Morgan Matson {Secret Santa 2014}

Judul: Amy and Roger's Epic Detour
Pengarang: Morgan Matson
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tanggal Terbit: Juni 2014
Goodreads


Dari Goodreads:
Ayah Amy baru-baru ini meninggal karena kecelakaan mobil. Ibunya memutuskan pindah jauh untuk memulai hidup baru. Dan Amy harus menyusul ibunya dengan naik mobil... ditemani Roger.

Ia sebetulnya tak terlalu bersemangat, karena harus melakukan perjalanan panjang dengan cowok yang sudah bertahun-tahun tidak ditemuinya tersebut.

Perjalanan ini mungkin terasa canggung––terutama karena persahabatan mereka lantas berkembang ke arah baru. Tetapi, bersama-sama, Amy dan Roger akan menemukan jalan-jalan baru untuk melanjutkan hidup.

"Bacaan musim panas nyaris sempurna yang akan membuat pembacanya mendambakan perjalanan dan kisah cinta."
–– Publishers Weekly; Starred Review






Road trip! Saya sudah membaca cukup banyak buku Young Adult bertema road trip, tapi buku ini berhasil menjadi salah satu favorit saya. Alur yang cepat, detail-detail jalur yang Amy dan Roger ambil, serta foto-foto yang menghiasi halaman buku ini membuat saya seakan mengikuti perjalanan bersama mereka. Foto-foto tagihan hotel atas nama Amy, struk belanja, maupun makanan yang Roger dan Amy makan membuat kisah mereka tampak semakin hidup.

Amy and Roger’s Epic Detour mengisahkan perjalanan darat yang dilakukan oleh Amy dan Roger, dua orang yang terpaksa berkendara selama beberapa hari untuk mengantarkan mobil ibu Amy ke Connecticut. Bermula dari dua orang asing, perjalanan panjang itu membuat mereka menjadi semakin dekat satu sama lain. Bermalam di rumah pohon dengan ancaman beruang yang mungkin datang, melewati Jalanan Paling Sepi di Amerika Serikat, mencoba makanan khas berbagai negara bagian, serta mengunjungi kampus Roger di Colorado. Perjalanan itu tidak hanya membuat mereka dekat, namun juga mengajari Amy dan Roger tentang memaafkan diri sendiri dan membiarkan yang lalu pergi.

Hubungan Amy dan Roger yang perlahan-lahan tumbuh adalah salah satu poin yang saya apresiasi. Duka cita yang Amy hadapi setelah kehilangan ayahnya diuraikan dengan hati-hati. Meskipun kisah Roger tampak tidak begitu berat jika dibandingkan, cerita Roger behasil membantu Amy kembali membuka diri terhadap orang-orang sekitarnya. Mungkin satu-satunya yang saya sayangkan di buku ini adalah kurangnya dieskplor sisi ibu Amy dan suadara laki-laki Amy, Charlie, dalam menghadapi duka cita kehilangan sang ayah.

Penerjemahan buku ini sendiri saya anggap pas, tetapi typo yang membludak membuat saya sungguh-sungguh mengharapkan proofreader yang lebih hati-hati. Mengingat ini buku yang cukup tebal, saya maklum dengan typo di beberapa tempat, tetapi ketika typo ditemukan hampir di setiap halaman semakin mendekati akhir buku… saya jadi bingung apakah penerbit tidak melakukan cek ulang teks sebelum diterbitkan.

Amy and Roger’s Epic Detour adalah kisah yang menyenangkan dan dijamin membuat wanderlust semakin parah. Semakin saya membalik halaman, semakin juga saya ingin melompat ke dalam mobil dan melakukan perjalanan darat bersama teman-teman saya. Granted, we can explore United States in few hours with Amy and Roger. Buku ini saya rekomendasikan bagi pencinta Young Adult kontemporer, tetapi bagi yang berniat membeli terjemahannya, pastikan kamu tidak bermasalah dengan typo atau silakan tunggu cetakan kedua yang (diharap) sudah direvisi! 






 4 butterflies!
Bacaan yang ringan dan pantas untuk menghabiskan waktu. :)


 ***

Terima kasih kepada Santa Rendria yang sudah mengirimkan buku wishlist utama saya ini! <3 Teknik menemukan saya: ctrl+F daftar BBI-ers yang domisili Malang -> buka blog mereka dan lihat tanggal recent posts di blognya -> setelah ketemu yang cocok, crosscheck di daftar Santa. Done!

Cara di atas hanya dapat digunakan karena tidak banyak BBIers Malang. Tapi mengingat saya enggak jago riddle, maaf ya kalau salah Santa hihi. Nanti saya update kalau salah -> shameless. Maaf atas keterlambatan posting, and I hope everyone had a wonderful day today! :)

PS: X saya sepertinya sudah tahu saya sejak minggu lalu karena dia follow saya di Twitter tiba-tiba. Still waiting for her post! :P 


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...