Jumat, 11 Juli 2014

Review Buku: Selimut Debu oleh Agustinus Wibowo

Judul: Selimut Debu
Pengarang: Agustinus Wibowo
Tanggal terbit: Januari 2010
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Goodreads

Dari Goodreads:
Selimut Debu akan membawa Anda berkeliling “negeri mimpi"—yang biasa dihadirkan lewat gambaran reruntuhan, korban ranjau, atau anak jalanan mengemis di jalan umum—sambil menapaki jejak kaki Agustinus yang telah lama hilang ditiup angin gurun, namun tetap membekas dalam memori. Anda akan sibuk naik-turun truk, mendaki gunung dan menuruni lembah, meminum teh dengan cara Persia, mencari sisa-sisa kejayaan negara yang habis dikikis oleh perang dan perebutan kekuasaan, sekaligus menyingkap cadar hitam yang menyelubungi kecantikan “Tanah Bangsa Afghan” dan onggokan debu yang menyelimuti bumi mereka. Bulir demi bulir debu akan membuka mata Anda pada prosesi kehidupan di tanah magis yang berabad-abad ditelantarkan, dijajah, dilupakan—sampai akhirnya ditemukan kembali.




3.5 bintang

Mungkin saya salah satu dari sedikit orang yang memberi 3 bintang untuk buku ini. Jujur, saya punya ekspektasi yang sangat tinggi akan trilogi karya Agustinus Wibowo ini. Deretan review yang memuji-muji serial ini di Goodreads, box set yang sangat menggiurkan, serta lembaran-lembaran foto asli penulis yang dicetak berwarna. God. I fall in love.

Selimut Debu merupakan lembaran-lembaran jurnal Agustinus Wibowo dari pengalamannya bertualang di negeri yang senantiasa dikelilingi debu, Afghanistan. Jika mendengar kata Afghanistan, pasti yang muncul di benak kita adalah padang pasir. Taliban. Perang saudara. Kemiskinan. Akan tetapi, melalui tulisan sang penulis, kita melihat sudut lain dari Afghanistan, negeri tanah air bangsa Afghan. Negeri di mana debu bagaikan air di Indonesia, di mana-mana.

Saya suka gaya bahasa Agustinus Wibowo yang lugas dan apa adanya. Pengamatannya yang jeli akan wealth gap yang lebar di negeri tersebut. Sangat menarik membaca pengalamannya hampir terjebak di tengah gunung pasir karena mobil mogok, pertemuannya dengan orang-orang di pengembaraannya, serta kisah getir ketika ia hampir ‘diserang’ lelaki Afghan karena perawakannya yang halus.

Salah satu hal paling mengejutkan yang saya temui di buku ini adalah komentar para wanita Afghan yang mengasihani wanita Malaysia yang harus membanting tulang di pabrik. Wanita Afghan yang selama ini dikasihini oleh pihak luar karena dianggap dikekang kebebasannya, ternyata telah menerima keadaan diri mereka dalam keterbatasannya. Mungkin, apa yang kita anggap sebagai ‘sangkar’ dianggap sebagai pelindung oleh sisi yang lain.

Lalu mengapa tiga bintang? Pertama, saya pusing dengan alur di buku ini. Saya bingung kejadian mana yang lebih dulu terjadi. Sang penulis telah tiba di negeri seberang pada akhir satu bagian, namun di bagian selanjutnya sang penulis masih berada di Afghanistan. Saya akan lebih mengapresiasi bila kisah-kisah di Selimut Debu dituturkan runut sesuai kronologis karena akan jauh lebih mudah bagi pembaca untuk mengikuti perjalanan sang penulis. Sekadar usul, mungkin peta perjalanan penulis bisa ditampilkan di halaman pertama buku dua halaman penuh agar lebih mudah bagi pembaca untuk mengikutinya perjalanannya.

Kedua, hal utama yang membuat saya menurunkan satu bintang untuk buku ini adalah ketidaksetujuan saya dengan beberapa ideologi yang ditampilkan. Satu ideologi sang penulis yang ditampilkan di buku ini sangat bertentangan dengan kepercayaan pribadi saya, sehingga hal itu mengakibatkan saya harus mengurangi satu bintang.

Terlepas dari kedua hal itu, Selimut Debu adalah kisah perjalanan indah yang saya yakin telah dan akan menginspirasi banyak orang. Dihiasi foto-foto yang memukau dan menggunakan gaya penulisan yang mudah dibaca, saya merekomendasikan Selimut Debu bagi mereka yang ingin melihat Afghanistan dari perspektif lain serta pencinta fiksi traveling




 
 3 butterflies!
Kisah perjalanan yang sesuai untuk mengobati wanderlust!


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...